JAKARTA
\r\n\r\nMasjid Lautze berdiri membaur di antara deretan ruko-ruko dengan arsitektur bergaya Tionghoa.
\r\n\r\nRumah ibadah ini tidak berkubah, juga tidak memiliki lambang bulan dan bintang seperti masjid pada umumnya.
\r\n\r\nWarna-warna khas arsitektur Tionghoa seperti merah, kuning, dan hijau mendominasi bangunan empat lantai ini.
\r\n\r\nDi dalam masjid, sejumlah lampion merah menggantung di langit-langit. Kaligrafi dengan terjemahan berbahasa mandarin juga terpasang di dinding-dinding masjid.
\r\n\r\nYayasan Haji Karim Oei mendirikan Masjid Lautze pada 1991. Masjid ini kemudian diresmikan oleh Ketua Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) BJ Habibie pada 1994.
\r\n\r\nDia diberi nama Masjid Lautze karena berlokasi di Jalan Lautze, Sawah Besar, Jakarta Barat yang juga merupakan kawasan pecinan.
\r\n\r\n“Kami sengaja memilih di daerah pecinan supaya pendekatan dengan saudara-saudara etnis Tionghoa yang non Muslim lebih mudah,” kata Humas Yayasan Haji Karim Oei, Yusman Iriansyah kepada Anadolu Agency, Senin.
\r\n\r\nSelain itu, arsitektur bergaya khas Tionghoa dipilih agar Masjid Lautze bisa menjadi tempat yang familiar bagi keturunan Tionghoa yang ingin mendalami Islam.
\r\n\r\n“Supaya mereka kalau datang ke Masjid Lautze merasa tidak canggung dan tidak asing,” lanjut Yusman.
\r\n\r\nNama yayasan diambil dari pengusaha mualaf keturunan Tionghoa, Abdul Karim Oei alias Oey Tjeng Hin.
\r\n\r\nKarim Oei juga dekat dengan mantan Presiden RI Soekarno dan ulama Buya Hamka.
\r\n\r\nAnak dari Abdul Karim Oei, Ali Karim merupakan salah satu pendiri Masjid Lautze bersama tokoh Tionghoa muslim seperti Junus Jahja.
\r\n\r\nAli Karim menjabat sebagai ketua umum yayasan hingga kini.
\r\n\r\nKetua Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Din Syamsuddin dalam buku berjudul ‘Rumah Bagi Muslim, Indonesia dan Keturunan Tionghoa’ menuliskan Masjid Lautze berperan penting sebagai Islamic Center.
\r\n\r\nKehadiran Masjid Lautze, menurut dia, telah mendorong proses akulturasi antara etnis Tionghoa dengan etnis-etnis lainnya di Indonesia yang kerap dianggap bertentangan.
\r\n\r\nPadahal menurut dia, pertautan antara Islam dan Tionghoa bukan lah hal asing dan baru di Indonesia.
\r\n\r\n“Keduanya telah terjalin dalam temali sejarah dan budaya yang panjang dan dalam,” tulis Din Syamsuddin.
\r\n\r\nSebarkan syiar Islam
\r\n\r\nYusman mengatakan Masjid Lautze berdiri dengan tujuan menyebarkan syiar Islam di kalangan etnis Tionghoa.
\r\n\r\nTujuan itu terus berjalan hingga saat ini. Tercatat 103 orang mualaf mengucapkan dua kalimat syahadat di Masjid Lautze pada 2018, dan 88 orang pada 2017.
\r\n\r\nSalah satu jemaah di Masjid Lautze, Andi Suriadi, 40, datang jauh-jauh dari Depok untuk mengucapkan dua kalimat syahadat di masjid ini pada 2001 lalu.
\r\n\r\n“Setelah mencari tahu, ternyata di masjid ini bisa menjadikan saya mualaf. Kebetulan di masjid ini ada kedekatan etnis yang bikin lebih nyaman,” kata Andi ketika ditemui, Senin.
\r\n\r\nAndi merupakan keturunan etnis Tionghoa. Sebagian dari keluarga besarnya telah lebih dulu menganut Islam.
\r\n\r\nDia kini rutin mengikuti kegiatan di Masjid Lautze, bahkan membantu yayasan mengurusi masjid tersebut.
\r\n\r\nSetiap hari Minggu, Masjid Lautze menggelar pengajian dan kelas untuk mendalami Islam bagi jemaahnya yang sebagian besar mualaf keturunan Tionghoa.
\r\n\r\nAgenda rutin mingguan itu biasanya dihadiri oleh puluhan orang dari berbagai usia.
\r\n\r\n“Di situ diajarkan ilmu-ilmu dasar Islam seperti tata cara salat, membaca Iqra, dan mereka tidak perlu merasa malu atau canggung,” kata Andi.
\r\n\r\nLewat aktivitas seperti ini, sambung dia, banyak orang yang datang untuk mencari tahu mengenai Islam.
\r\n\r\nNamun Andi menuturkan Masjid Lautze terbuka bagi siapa pun, meski identik dengan komunitas muslim Tionghoa.
\r\n\r\n“Siapa pun boleh datang ke sini,” ujar dia.
\r\n\r\nSelain itu, Masjid Lautze juga menggelar salat Zuhur dan Ashar berjamaah setiap hari Minggu hingga Jumat karena jam operasionalnya hanya sejak pukul 9 pagi hingga 5 sore.
\r\n\r\nImlek sebagai momentum silaturahmi
\r\n\r\nTidak ada aktivitas atau perayaan khusus di Masjid Lautze menjelang peringatan Imlek meski sebagian besar jemaahnya merupakan keturunan Tionghoa.
\r\n\r\n“Acara khusus tidak ada, biasanya para jemaah berkumpul dengan keluarga untuk silaturahmi,” kata Yusman.
\r\n\r\nMenurut Yusman, para jemaah biasanya merayakan Imlek sebagai tradisi.
\r\n\r\n“Kalau yang sifatnya ritual mereka tidak mengikuti lagi, hanya yang sifatnya tradisi seperti berkumpul dengan keluarga,” jelas dia.
\r\n\r\nJohannes Carlo Eric Mulia, 41, merupakan mualaf keturunan Tionghoa yang telah menjadi jemaah di Masjid Lautze dua tahun belakangan.
\r\n\r\nTahun Baru Imlek bagi Carlo merupakan ajang silaturahmi dan makan bersama keluarga besar.
\r\n\r\n“Kalau ritual Imlek seperti sembahyang saya tidak ikut lagi, tapi kalau kumpul dengan keluarga dan makan bersama tetap saya ikuti,” kata Carlo.
\r\n\r\nBagi dia, menjadi muslim bukan berarti meninggalkan tradisi sebagai keturunan Tionghoa.
\r\n\r\nhttps://www.aa.com.tr/id/budaya/masjid-lautze-simbol-pembauran-budaya-islam-dan-tionghoa/1383580
\r\n\r\n