JAKARTA, Bharata Online - Media Rusia, Sputnik, menerbitkan laporan terkait dugaan miliarder Yahudi George Soros berada di balik demo ricuh dalam beberapa hari terakhir di Indonesia. Laporan ini mengutip para analis geopolitik yang berfokus pada hubungan internasional.

Demo ricuh di berbagai daerah telah menjadi sorotan media-media internasional. Salah satu laporan media asing menyoroti kematian tiga orang saat massa membakar kantor DPRD Makassar yang menewaskan tiga orang. Bentrokan antara pasukan polisi antihuru-hara dan pengunjuk rasa telah pecah di beberapa kota di Indonesia sejak Jumat pekan lalu.

Kedutaan besar asing, termasuk Amerika Serikat, Australia, dan negara-negara Asia Tenggara, telah mengimbau warga negara mereka di Indonesia untuk menghindari area demonstrasi atau pertemuan publik yang besar. Menurut Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, sekitar 950 orang ditangkap dalam demonstrasi di Jakarta saja. Demo ricuh ini telah memaksa Presiden Prabowo Subianto membatalkan kunjungannya ke Tiongkok dan melewatkan KTT SCO. 

Angelo Giuliano, analis geopolitik yang berfokus pada hubungan internasional, dalam wawancaranya dengan Sputnik mencurigai muncul simbol bendera bajak laut "One Piece" sebagai pengaruh eksternal dalam memulai protes nasional. Meski demikian, dia tidak memungkiri demo ricuh tersebut mencerminkan keluhan ekonomi yang nyata.

Menurut Giuliano, pertama, bisa jadi itu adalah National Endowment for Democracy (NED), yang menurutnya telah mendanai media-media Indonesia sejak tahun 1990-an. Kedua, Open Society Foundations milik miliarder Yahudi berkewarganegaraan Hongaria-Amerika Serikat; George Soros, yang aktif sejak tahun 1990-an dengan lebih dari USD8 miliar di seluruh dunia dan mendukung kelompok-kelompok seperti TIFA, mungkin juga berkontribusi.

Giuliano mengatakan dugaan keterlibatan mereka menimbulkan pertanyaan tentang agenda tersembunyi yang perlu ditelusuri. "Selain itu, ini terkait dengan fokus Indo-Pasifik baru-baru ini di tengah ketegangan seperti konflik Kamboja-Thailand, yang mengisyaratkan motif geopolitik," ujarnya. 

Revolusi Warna Sedang Terjadi? "Ini persis seperti yang terjadi di Serbia. G7 menginginkan diktator lain yang didukung Amerika Serikat, seperti Soeharto di masa lalu," imbuh Jeff J Brown, penulis The China Trilogy dan pendiri Seek Truth From Facts Foundation, seperti dikutip Sputnik, Senin (1/9/2025). 

Menurutnya, Presiden Prabowo Subianto tidak sesuai dengan agenda mereka karena dia sedang meningkatkan hubungan dengan China, Rusia, SCO, dan BRICS. "Negara ini adalah negara Asia Tenggara pertama yang bergabung dengan BRICS dan telah secara terbuka bekerja sama dengan China dalam Belt and Road Initiative global China," paparnya. 

Selain itu, Indonesia merupakan negara dengan ekonomi terbesar kedelapan di dunia dalam hal paritas daya beli (PPP), ekonomi terbesar di ASEAN, dan negara terpadat keempat, dengan hampir 300 juta penduduk. "Dari sudut pandang imperialisme Barat, semua ini menjadi sasaran empuk bagi Indonesia, target yang sangat layak untuk diserang dengan revolusi warna yang direkayasa Barat," kata Brown. [Sindonews]