Bharata Online - Bulan ketujuh dalam kalender lunar masyarakat Tionghoa sering disebut sebagai “Bulan Hantu”. Konon, pada saat itu gerbang antara dunia manusia dan dunia arwah terbuka lebar. Roh-roh leluhur kembali ke rumah keturunannya, sementara arwah gentayangan yang tak memiliki keluarga pun turun untuk mencari makanan dan penerangan. Di tengah keyakinan inilah lahir sebuah tradisi besar yang disebut Festival Zhong Yuan (中元节), atau lebih dikenal masyarakat dunia sebagai Hungry Ghost Festival, yaitu Festival Hantu Lapar.
Festival ini jatuh tepat pada tanggal 15 bulan ketujuh penanggalan Imlek, bertepatan dengan malam purnama di pertengahan bulan tersebut. Walau puncaknya hanya sehari, namun suasana sakral dan suasana mistis terasa sepanjang bulan. Di berbagai penjuru Tiongkok, Taiwan, Hong Kong, hingga komunitas Tionghoa di Asia Tenggara, bulan ketujuh ini ditandai dengan doa, persembahan, serta berbagai ritual penghormatan arwah.
Asal-usul festival ini berasal dari tiga lapis kepercayaan: Taoisme, Buddhisme, dan tradisi rakyat Tionghoa kuno.
Dalam Taoisme, tanggal 15 bulan tujuh dianggap sebagai saat turunnya Dewa Dadi untuk memberikan pengampunan kepada roh-roh di alam baka. Umat kemudian membuat persembahan dan doa agar arwah leluhur mereka mendapat berkah, serta agar roh gentayangan tidak membawa gangguan.
Dari sisi Buddhisme, Festival Zhong Yuan dikenal sebagai bagian dari tradisi *Ullambana*. Kisahnya berawal dari seorang murid Buddha bernama Mulian, yang ingin menolong ibunya yang menderita kelaparan di alam arwah. Sang Buddha mengajarkan agar ia memberi persembahan makanan kepada para biksu dan mendoakan semua arwah. Sejak saat itu, lahirlah tradisi memberi makan roh lapar, yang kemudian menyatu dengan adat masyarakat Tionghoa.
Sementara itu, dalam tradisi rakyat, festival ini adalah wujud kasih sayang kepada leluhur sekaligus upaya menjaga keseimbangan antara manusia dengan alam roh.
Suasana festival begitu khas. Di rumah-rumah keturunan Tionghoa, meja persembahan disiapkan dengan rapi. Berbagai makanan kesukaan leluhur dihidangkan: nasi, ayam panggang, kue bulan, buah, dan teh. Lilin dan dupa dinyalakan, asapnya melambung tinggi seakan menjadi jembatan menuju alam gaib. Di halaman atau jalan, orang-orang membakar kertas persembahan yang menyerupai uang, pakaian, rumah, bahkan barang-barang modern seperti mobil atau telepon genggam. Semua itu dipercaya akan diterima oleh roh leluhur di alam baka, sehingga mereka dapat hidup dengan nyaman.
Selain persembahan, masyarakat juga kerap mengadakan pertunjukan budaya. Di Tiongkok, festival ini diramaikan dengan opera tradisional atau wayang potehi, dimainkan di panggung terbuka. Kursi kosong di barisan depan selalu dibiarkan khusus untuk roh-roh yang datang menonton. Di Singapura dan Malaysia, perayaan ini lebih meriah dengan adanya getai, yakni konser musik jalanan yang dihiasi lampu warna-warni dan kostum mencolok. Meski terlihat hiburan, inti dari pertunjukan ini adalah bentuk penghormatan kepada arwah, sekaligus sarana mempererat hubungan antarwarga.
Ritual lain yang tak kalah indah adalah melepaskan lampion air. Lampion kertas berbentuk bunga teratai dilepas di sungai atau laut, menyala lembut dalam gelap malam. Lampion itu melambangkan penerangan jalan bagi roh yang harus kembali ke alam baka. Di beberapa daerah di Indonesia, khususnya Semarang, Medan, dan Glodok Jakarta, tradisi lampion air masih dijaga. Pemandangan ratusan lampion mengapung di sungai memberikan kesan magis sekaligus menenangkan, seolah-olah manusia dan roh hidup berdampingan dalam harmoni.
Namun, bulan hantu juga dipenuhi pantangan. Orang tua kerap menasihati anak-anak agar tidak keluar sendirian pada malam hari, tidak berenang di laut atau sungai, tidak menikah atau pindah rumah pada bulan itu, serta tidak memungut barang di jalan yang bisa jadi persembahan untuk arwah. Pantangan-pantangan ini menambah nuansa mistis dan membuat masyarakat lebih berhati-hati, sekaligus menjadi bagian dari kearifan lokal untuk menjaga diri.
Festival Zhong Yuan bukan sekadar tentang arwah lapar. Lebih dalam dari itu, ia adalah refleksi kehidupan manusia. Dengan memberi makan roh yang tak dikenal, masyarakat belajar tentang kepedulian sosial: bahwa berbagi bukan hanya kepada sesama yang terlihat, melainkan juga kepada yang tak kasat mata. Dengan menyiapkan makanan untuk leluhur, mereka menjaga tali kasih lintas generasi: sebuah pengingat bahwa hidup hari ini adalah buah dari jasa orang-orang yang telah mendahului. Dengan melaksanakan ritual doa, manusia menyadari bahwa kehidupan di dunia hanyalah sementara, dan setiap amal kebaikan akan memberi bekal bagi perjalanan di alam berikutnya.
Hingga kini, Festival Zhong Yuan tetap dirayakan dengan penuh makna di berbagai belahan dunia. Di satu sisi, ia memunculkan pesona budaya yang kaya dengan pertunjukan, musik, dan tradisi. Di sisi lain, ia membawa pesan spiritual yang mendalam: menjaga harmoni antara manusia dengan alam semesta, antara dunia nyata dan dunia roh. Seperti lampion air yang terapung di permukaan sungai, festival ini adalah cahaya yang menuntun manusia agar tidak lupa pada asal-usulnya, dan selalu ingat bahwa hidup yang baik adalah hidup yang penuh rasa hormat, syukur, dan kepedulian.